Bad
First Love
Cinta
pertamaku adalah kunang-kunang, berkelip terang hanya pada malam hari.
Cahayanya pun tak terlalu terang, muncul, hilang, muncul lagi dan menghilang
sampai pagi menjelang. Bak kunang-kunang hubungan kami putus nyambung, putus
lagi dan nyambung lagi. Seperti lagu yang populer itu.
Namaku
Nuri, awal kedekatanku dengan Fariz teman sekelasku dimulai saat berkiprah di
dunia OSIS. Saat itu kami masih SMP, masih terlalu dini untuk mengenal pacaran.
Sebab akibat banyaknya kegiatan di sekolah yang mengharuskan kita bekerjasama,
kedekatan kami memuncak pada waktu menginjak bangku kelas VIII.
Selama
menjadi sekretaris OSIS aku banyak terlibat di hampir semua kegiatan
intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Demikian juga dengan Fariz, justru ia
lebih sibuk dariku pangkatnya pun lebih tinggi dari aku, yaitu ketua OSIS. Kita
seharusnya bisa bekerjasama demi kemajuan OSIS di sekolah kami.
Saat
ada perlombaan Siswa Teladan aku dan Fariz ditunjuk mewakili sekolah. Sayang
kami tidak berkesempatan untuk mendapat juara, kami mendapat juara saat
mengikuti lomba MTQ Hardiknas 2007 Alhamdulillah aku mendapat juara I dan Fariz
mendapat juara III pada lomba itu.
Untuk
merayakan keberhasilan kami, kita mengadakan suatu perayaan kecil. Sekedar
makan-makan, untuk mengenang kemenangan kita. Yang diundang tentunya semua
anggota OSIS. Dalam percakapan sederhana disebuah restourant, kami berceloteh
ria.
“Kalian
itu kompak.” Kata Isnie. Sambil meneguk segelas jus tomat.
“Bukankah
kita harus kompak?” Sahutku sendu melirik kearah Fariz.
“Tentu
saja, kalau tidak kompak kita tidak akan bisa bekerjasama.” Jawab Fariz dengan
sigap dan santai.
“Sepertinya
takdir juga bekerjasama dengan kalian.” Pendapat Fatkhu sedikit membuat kami
berfikir untuk mencerna kata-katanya.
“Maksud
kamu apa?” Respon Fariz membuat suasana menjadi dingin.
“Kamu
kalah Nuri juga kalah. Giliran Nuri menang, kamu juga menang itu artinya takdir
kompak dan berpihak pada kalian.” Jawab Fatkhu agak geregetan.
“Mungkin
itu hanya kebetulan semata.” Kataku sambil membersihkan sisa makanan yang
tertinggal di bibirku dengan tissue.
“Menurutku
takdir berkata jika kalian itu jodoh.” Opini Zara membuatku dan Fariz keselek
bersamaan “Apa aku bilang, keselek saja pakai kompak.” Tambah Zara.
“Sorry,
aku mau ke toilet sebentar.” Izinku pada teman-teman.
“Ikut?”
Rengek Fatkhu.
Sambil
memeriksa dahi Fatkhu, Fariz mencoba membuat suasana semarak dengan lelucon
sederhana. “Wach, panasnya 100o celcius, sakit jiwa dia. Buruan
cepat panggil ambulance, kita bawa ke rumah sakit jiwa, sebelum Tuhan
berkehendak lain”.
Tak
kuhiraukan leluconnya, kuabaikan pula tawa teman-teman. Segera aku bergegas ke
toilet. Rasanya kepalaku pusing sekali. Tuhan, apa yang terjadi. Kenapa aku
terlihat pucat, tak kusangka hidungku mimisan. Mungkin aku hanya kelelahan
karena aku terlalu lama di toilet Isnie menyusul.
Saat
aku kembali, teman-teman mencemaskan kondisiku. Aku terlihat seperti pasien
yang lemah, Fariz juga sangat mengkhawatirkan keadaanku.
“Apa
kamu baik-baik saja, Nur?” Tanya Fariz sedikit panik.
Aku
hanya tersenyum, duduk dan menghabiskan minumanku. Aku tak mengira jika aku
akan mimisan lagi, segera kuambil tissue dan mengusap darah yang keluar dari
hidungku. Sepertinya aku harus pulang sekarang.
“Teman-teman,
aku sedang tidak enak badan. Mungkin aku harus pulang.” Kataku memberanikan
diri untuk pulang lebih dulu.
“Bagaimana
kalau mengantarmu pulang?” Fariz menawarkan diri.
“Tidak,
terimakasih.” Aku menolak tawarannya.
“Kamu
tak mungkin pulang sendirian, Nur. Kamu itu kan lagi sakit.” Zara melarangku pulang
tanpa Fariz.
“Pulang
diantar Fariz, nggak dosa kok.” Fatkhu mendukung jika aku pulang diantar Fariz.
Aku
menyerah dan pasrah, “Baiklah” Fariz pun memesan taksi, saat taksi telah tiba
Fariz membukakan pintu untukku. Fariz memelototiku karena aku tidak lekas masuk
ke dalam taksi. Aku pun tersenyum malu dan segera duduk di belakang sopir.
Belum
sampai 1 km taksi melaju, tiba-tiba aku merasa pusing, “Riz” keluhku sambil
memegangi kepalaku yang terasa sakit sekali “Nur, kamu kenapa?” Fariz cegitu
panik melihatku pingsan bersandar pada bahu kirinya.
“Pak,
putar balik. Kita kerumah sakit sekarang. Cepat pak!” Fariz merasa sangat panik
dan memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
***
Saat
itu aku telah siuman tergolek lemah diatas ranjang rumah sakit. Aku melihat
seorang suster yang ada disampingku, kupandangi setiap sudut ruangan itu.
“Fariz!!” aku memanggil namanya. Suster itu pun menjawab, “Mbak, tadi pacarnya
mbak sedang ke apotik”.
Aku
berfikir panjang, tadi suster itu bilang “pacar” ah tadi pasti Fariz berkata
yang tidak-tidak pada suster itu. Pasti dia mengaku sebagai pacarku di hadapan
suster itu. Aku ingin bertemu Fariz, kucoba untuk bangun dan berdiri.
Fariz
pun datang membawa obat, dan menghampiri aku. Sementara suster yang sopan dan
cantik itu pergi meninggalkan kami. Awalnya aku ingin marah karena Fariz telah
mengaku-ngaku sebagai pacarku. Tapi rasanya ini bukan waktu yang tepat, hari
ini aku banyak tergantung pada Fariz.
“Sorry
lama, tadi aku baru nebus obat. Bagaimana kondisimu, Nur?”
“Baik,
dan sudah saatnya aku pulang.” Aku ingin Fariz mengantarku pulang.
“Kamu
yakin?, kondisi kamu masih lemah!” Fariz meragukanku.
“Aku
yakin.” Kataku dengan penuh semangat.
Kurang
lebih selama 30 menit kami naik taksi, akhirnya sampai pula di depan rumahku. Segera
aku berterima kasih pada Fariz, karena hari ini aku turun, say “googbye” dan
masuk ke dalam rumah, sampai di kamarku. Minum obat dan istirahat.
***
Saat
istirahat di taman sekolah, Fariz menghampiriku yang tengah asyik
berbincang-bincang dengan Isnie dan Zara. “Aku pinjam Nuri sebentar ya?”.
“Dengan
senang hati.” Sahut Isnie dan Zara bersamaan.
“Ada Apa, Riz?” Suaraku
terdengar serak.
“Nggak
apa-apa kok, kamu sehat?” Fariz sepertinya masih mengkhawatirkan keadaanku.
Saat
itu pula aku teringat akan kejadian semalam, aku mengajak Fariz untuk berbicara
agak jauh agar teman-teman tidak mendengar pembicaraan kami. “Maksud kamu apa,
kenapa semalam kamu mengaku sebagai pacarku di depan suster itu?”.
“Maaf,
aku nggak sengaja.” Jawab Fariz setengah tertunduk.
“Kamu
jangan coba-coba mencari kesempatan dalam kesempitan ya?” Kataku sedikit
geregetan.
“Semalam
aku hanya pura-pura, Nur” Ia beralasan.
“Tetap
nggak boleh.” Kataku agak ketus.
“Kalau
kamu mau sungguhan, aku sama sekali nggak keberatan kok.”
Mendengar
kata-kata Fariz yang semakin mengacau, aku menarik beberpa helai rambutnya
Fariz. “Aw, sakit tahu!” Fariz mengaduh.
“Kamu
serius?” tanyaku penasaran. Fariz hanya mengangguk dengan mantab. Tuhan
bagaimana ini, aku harus jawab apa. Aku bingung ya Rabb, berikan aku
petunjuk-Mu.
“Boleh”
jawabku sambil mengumpulkan keyakinan. Aneh, Fariz mendadak minta dicubit,
mungkin ia merasa sedang bermimpi lalu berteriak, “Hore!” sambil lompat-lompat
riang.
“Eh-eh,
jangan senang dulu.” Aku memotong kegembiraannya. Aku meminta hubungan kita
dibawa ke arah yang positif, seperti belajar bersama, olah raga bersama, dan
makan-makan bersama.
Baru
beberapa hari pacaran, ada-ada saja masalahnya. Aku mendapati Fariz berbohong.
Katanya mau basket satim yang terdiri dari Fatkhu, Razki, Arshav, Erick, dan
Ali. Tapi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Fariz tengah menemani Isnie
membeli pita dan kertas gabus warna-warni.
Fariz
memberi alasan jika itu adalah tugas OSIS, lalu kenapa aku tidak dilibatkan. Ia
juga menegaskan berkali-kali jika Isnie itu bendahara OSIS. “Aku mau kita
putus.” Kataku penuh emosi.
“Tidak
masalah.” Menerima keputusankku, ia sama sekali tidak menyesal dan minta maaf
kepadaku. Pada akhirnya, aku yang merasa kehilangan Fariz karena sikapku yang
kekanak-kanakan.
***
Pensi
sebentar lagi dimulai, lagi-lagi aku dan Fariz terlibat sebagai panitia acara
tahunan ini. Aku terpaksa bekerjasama dengannya, karena aku tidak mau
dikeluarkan dari keanggotaan OSIS. Jadi aku mencoba untuk bersikap profesional,
meski sempat beberapa kali berbeda pendapat dengan Fariz, aku tetap memenangkan
perdebatan itu.
Aku
tidak menyangka, diakhir acara Fariz meminta maaf kepadaku didepan teman-teman.
Ia juga menyanyikan lagu untukku, lagu kesukaan kita. Lagu dari Andra and The
Backbone yang berjudul “Sempurna”. Ditengah-tengah lagu tersebut, Fariz
mengajakku naik keatas panggung.
Fariz
menatapku dan melanjutkan bernyanyi, “kau adalah darahku … kau adalah jantungku
… kau adalah hidupku … lengkapi diriku … oh, sayangku kau begitu … sempurna ….”
Sungguh
aku telah dibuatnya melayang terbang jauh ke angkasa, saat ia berkata. “Would
you be my boyfreind again?”. Aku tak mampu berkata-kata lagi, aku hanya bisa
tersenyum dan mengangguk, mengiyakan permintaannya. Saat itu pula aku tidak
menyadari bila aku telah berada daalam pelukan Fariz. Fariz, aku kangen sama
pelukan hangat kamu. Sejak saat itu aku balikan lagi dengan Fariz.
Sejak
saat itu pula kami adalah pasangan paling serasi dan menginspirasi kata-kata
teman-teman di sekolah seperti, karena kami punya panggilan spesial. Fariz
memanggilku Peri Imuet dan aku memanggilnya Pengeran Kunang-kunang, lucu ya.
***
Ada anak
baru yang jadi anggota OSIS namanya Indah, dia sekelas dengan aku dan Fariz
kehadiran Indah membuatku dan Fariz berjauhan, Indah mendapat posisi sebagai
seksi konsumsi di OSIS. Aku sering mendapati mereka jalan bersama dengan tujuan
berbelanja untuk keperluan berbagai acara di sekolah.
Aku
percaya Fariz dan Indah tak punya hubungan lebih dari sekedar berteman.
Kepercayaanku pun tenggelam di lautan saat kudapati Indah berpelukan mesar
dengan Fariz disebuah restourant. Lagi-lagi Fariz membuatku merasa cemburu,
marah, kesal dan kecewa.
Aku
memberi pesan yang berisi “kita putus!” pada saat itu juga. Fariz pun baru
tersadar jika aku tengah makan sendirian di restaurant yang sama, ia pun
menghampiriku.
“Kamu
salah paham, Nur?”
“Kamu
mau alasan apalagi, Riz?”Aku marah dalam tangisan.
“Tadi
Indah baru putus sama pacarnya dia, wajar donk kalau aku menghibur dia.”
“Kalau
menghibur kenapa harus pelukan?, Ups sorry, aku nggak sengaja.” Aku menumpahkan
segelas air putih tepat mengenai wajahnya yang pura-pura lugu. Aku pun pergi
meninggalkannya jauh dari restaurant itu.
Aku
memilih untuk meletakkan jabatanku sebagai sekretaris OSIS. Aku males jika
harus bekerja sama dengan bekas pacarku dan penghianat itu.
Saat
kutahu Indah yang menggantikan posisiku di OSIS aku marah-marah.
“Selamat
ya, sekarang kamu jadi sekretaris OSIS yang baru, penghianat!”
“Makasih,
sebentar lagi aku juga akan mengambil hati Fariz dari hati kamu.” Kata Indah
dengan besar kepala.
“Silakan!
kita dah putus kok.”
“Bagus
donk, berarti nggak ada yang menghalangi hubungan kami.” Indah makin lama makin
nyolot.
“Iih!”
Hampir saja aku menjambak rambutnya yang keriwil itu, tapi Isnie dan Zara
mencegahku.
***
Beberapa
hari kemudian, kudengar berita sekaligus mimpi buruk itu. Fariz dan Indah
jadian, sekarang mereka pacaran. Dua penghianat itu ada di depanku saat ini.
“Selamat
ya, mudah-mudahan kalian selamanya.” Kataku pura-pura tegar.
“Makasih,
Nur.” Jawab Fariz.
“Tenang
Nur, aku akan menjaga dan membahagiakan Fariz dengan sepenuh hati aku.” Sahutan
Indah membuat mataku berkaca-kaca, aku berlari tak kuat membendung airmata.
Perih
hatiku tersayat, sudah patah, diiris-iris pula. Begitu mudahnya Fariz mencari
penggantiku. Padahal dirinya tahu, jika ia adalah my first love. Kini usai
sudah kisah cinta antara Pangeran Kunang-kunang dan Peri Imuet.
Sedih
jalan cintaku ini. Tuhan biarkan aku melepaskannya, melupakan apa yang pernah
terjadi diantara aku dan Fariz. Bantu aku mengikhlaskan semua ini, ya Rahman.
Aku yakin bila saat ini aku bersedih terluka hati karena cinta, suatu saat
nanti aku akan bahagia karena ada cinta yang lebih baik daripada cinta
sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar